Rabu, 25 Maret 2009

Para Prajurit Tua Tak Pernah Mati

Membaca buku Sintong Panjaitan yang berjudul Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando (2009), kita melihat ada dua orang yang dituduh pada 1983 dulu akan melakukan coup d’etat, yaitu Benny Moerdani yang dituduh oleh Kapten Prabowo Subianto dan Kapten Prabowo Subianto yang dituduh oleh Kolonel Sintong Panjaitan.

Tentu saja hal tersebut membuat publik menjadi bingung, ditambah lagi dengan ramainya buku dan serangkaian tanggapan yang terbit dan muncul dari para mantan perwira tentara lain. Untuk menghentikan kebingungan publik, marilah kita menata pikiran terhadap isi buku tersebut. Perlu kita bayangkan dulu suatu kotak pola pikir netral yang menempatkan kedua macam tuduhan yang bersifat antagonistik tersebut sebagai obyek (sasaran) dari analisis.

Rakyat Indonesia, termasuk para prajurit ABRI (TNI dan Polri), sejak kelahirannya dalam kehidupan berbangsa di negara Proklamasi 17 Agustus 1945 ini semuanya berpegang pada filsafat Pancasila sebagai norma dasar. Dengan norma dasar itu kemudian Bung Karno (Presiden Indonesia berlatar belakang sipil) memercayakan pembentukan tentara Pembela Tanah Air (Peta) pada zaman Jepang kepada Gatot Mangkupradja (juga orang sipil) sebagai alat negara milik rakyat yang andal dalam mendampingi para politisi berjuang menuju dan membangun Indonesia merdeka. Peta lalu berkembang dalam proses sejarah sampai akhirnya sekarang menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Kebenaran relatif
Letnan Dua Prabowo efektif menjadi anggota TNI sejak 1974 dan Letnan Dua Sintong sejak 1963, dengan penanaman sikap mental pengabdian mereka yang sama melalui derivasi nilai dasar, berupa Sumpah Prajurit dan Sapta Marga. Dengan Sumpah Prajurit dan Sapta Marga sebagai instrumen (alat) analisis dan perkembangan keadaan masyarakat (publik) demokratis Indonesia sekarang sebagai lingkungan analisisnya, kita akan mendapatkan hasil suatu kebenaran relatif jika menempatkan netralitas diri kita sebagai subyek dan sejarah sebagai metode.

Di dalam Sapta Marga antara lain tersurat, ”Kami kesatria Indonesia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta membela kejujuran, kebenaran, dan keadilan.” Instrumen itulah yang menjadikan The Old Soldier (Si Prajurit Tua), Sintong Panjaitan, membeberkan sejarah yang diketahuinya pada masa lalu kepada publik. Dalam pemikiran Sintong, lingkungan kita sekarang sudah berubah. Setiap individu bangsa kita telah melebur ke dalam napas keterbukaan di alam demokratisasi negara. Dengan demikian, mereka berhak mengetahui sejarah bangsanya sendiri agar mata dan hati mereka terbuka lebar dalam melanjutkan bergulirnya demokratisasi di nation state (negara-bangsa) Indonesia.

Bagi Prabowo, instrumen yang digunakannya untuk melakukan counter coup d’etat adalah Sumpah Prajurit, yang antara lain berbunyi ”Demi Allah, saya bersumpah setia kepada pemerintah dan tunduk kepada undang-undang dan ideologi negara.” Yang dimaksud setia di sini adalah kepada pemerintah siapa saja yang sedang berkuasa karena tentara di mana pun di dunia ini merupakan alat negara yang harus tunduk, setia, hormat, serta taat kepada atasan, dengan tidak membantah perintah atau putusan. Kalimat tersebut juga tersurat di dalam Sumpah Prajurit. Atasan tentara adalah pemerintah, yang dikepalai oleh Presiden (sipil) sebagai Pemegang Kekuasaan Tertinggi atas Angkatan Darat, Laut, dan Udara sehingga lazim disebut sebagai Panglima Tertinggi.

Ada dua cara dalam menghadapi suatu rencana coup d’etat, yang pertama adalah mendorong agar coup d’etat tersebut dapat terlaksana secara prematur. Dengan demikian, para pelaku coup d’etat diharapkan akan bekerja secara tergesa-gesa, ceroboh, dan akhirnya gagal. Yang kedua adalah melakukan suatu counter coup d’etat, yaitu gerakan yang dilakukan mendahului pelaksanaan rencana coup d’etat. Caranya, dengan menangkapi atau menculik para tokoh yang akan berperanan penting dalam pelaksanaan coup d’etat.

Diadili sejarah
Diskursus publik sekarang berkisar pada benar atau tidak Benny Moerdani akan melakukan coup d’etat waktu itu dan benar atau tidak Prabowo dulu akan melakukan counter coup d’etat, serta tepat atau tidak Sintong membeberkan sejarah hidupnya pada saat ruang dan waktu negara Indonesia sedang demam kampanye pemilu legislatif dan pemilu presiden. Namun, yang jelas, landasan pemikiran Sintong dan Prabowo adalah sama, yaitu demi kesetiaan dan rasa tanggung jawab masing-masing kepada Sapta Marga dan Sumpah Prajurit serta pemahaman atas keterbukaan yang dituntut oleh perkembangan lingkungan strategisnya, yaitu rakyat di negara demokrasi Indonesia yang telah mereformasi diri sejak 10 tahun lalu.

Kebenaran yang merupakan hasil analisis hanya akan diadili oleh sejarah dan jangan lupa kebenaran tersebut hanya bersifat relatif karena history is written by the winning generals (sejarah ditulis oleh jenderal yang menang). Proses sejarah yang tidak mengenal belas kasihan membuat bangsa Indonesia lebih percaya kepada jenderal yang mewarisi jiwa keperwiraan dari para prajurit pendahulunya. Sejarah Indonesia di zaman Kerajaan Majapahit mencatat jiwa keperwiraan Gajah Mada yang berhasil mempersatukan Nusantara, tetapi tidak pernah ingin menjadi raja. Demikian pula tercatat di zaman Kesultanan Demak, Faletehan alias Fatahillah yang dengan gemilang dua kali memukul mundur armada Portugis sampai menewaskan Laksamana Fransisco Dessa juga tidak pernah ingin menjadi sultan. Warisan sikap mental yang kita terima dari mereka bukan berupa nafsu kekuasaan ala Julius Caesar yang sepulang menaklukkan negara- negara di Eropa lalu melakukan coup d’etat dengan membubarkan senat dan mengangkat diri sebagai kaisar bangsa Romawi.

Para prajurit tua kita ketika masih aktif telah berhasil sehingga pada masanya dulu di Indonesia tidak pernah terjadi coup d’etat. Kini setelah kembali sebagai anggota masyarakat sipil, mereka bersaing bukan hanya karena keinginan menjadi presiden, apalagi menjadi raja atau sultan Indonesia! Mereka adalah para prajurit tua yang tak pernah mati untuk mempertahankan Indonesia yang belum dua pertiga jalan menuju batas aman bagi keberlangsungan demokrasi.

Proses modernisasi dan demokratisasi negara adalah suatu perjalanan yang panjang dan penuh risiko. Oleh karena itu, siapa pun di antara para prajurit tua yang paling layak untuk memimpin ke arah keamanan dan kesejahteraan bangsa Indonesia pasti didukung dan dikoreksi secara sehat oleh para koleganya sendiri. Hanya dengan kondisi seperti itu, seluruh rakyat akan ikut bersama melantunkan himne Taruna AMN, ”Biarpun badan hancur lebur, di bawah Dwiwarna sang panji, kami akan membela keadilan suci dan kebenaran murni!” (Kompas, 24 Maret 2009, AM Hendropriyono Alumnus Akademi Militer Nasional)

Baju Besi dan Sangkar Besi

Indonesia yang pada abad ke-8 dan abad ke-13 merupakan suatu bangsa besar yang dipertuan di Asia Tenggara, kini pada abad ke-21 terpaksa harus mengenakan baju besi neoliberalisme yang menyakitkan, seperti juga yang harus dipakai oleh hampir semua negara berkembang lain di dunia. Kesakitan yang diderita karena baju besi kapitalisme dan demokrasi harus dikenakan oleh negara-negara berkembang, dengan ukuran yang terlalu sempit atau terlalu longgar bagi badan mereka masing-masing.

Neoliberalisme mengisyaratkan bahwa setiap bangsa yang ingin hidup sejahtera dan cerah hari depannya harus menerapkan praksis filsafat kapitalisme liberal dan filsafat demokrasi secara bersamaan, baik cocok maupun tidak, bagi nilai-nilai tradisi atau budaya bangsanya sendiri. Padahal, kedua macam filsafat asing itu berbeda satu sama lain. Hakikat kapitalisme liberal adalah ekonomi pasar, yang menuntut fungsi pemerintah berada seminimal mungkin di dalam aspek ekonomi. Fungsi pemerintah harus dibatasi hanya untuk menyediakan infrastruktur, menjamin keamanan, hak kepemilikan pribadi, dan menegakkan kontrak. Dalam perkembangan globalisasi di era kini, tuntutan neoliberalisme juga berkembang sampai penyediaan infrastruktur tidak lagi merupakan fungsi pemerintah. Demikian pula halnya kelak dengan fungsi keamanan, sehingga fungsi pemerintah semata-mata menyelenggarakan pertahanan jika negara terlibat di dalam peperangan. Sebaliknya, filsafat demokrasi justru menuntut fungsi pemerintah untuk dilaksanakan secara maksimal di bidang politik. Fungsi tersebut berada dalam posisi yang terkontrol dan seimbang, sesuai dengan asas Trias Politika Montesque yang membagi pemerintahan dalam fungsi-fungsi legislatif, eksekutif, dan yudikatif.

Sangkar besi globalisasi
Dengan baju besi neoliberal dan sekaligus terkurung di dalam sangkar besi globalisasi yang tidak nyaman, manusia Indonesia niscaya membutuhkan kebebasan. Hasrat kebebasan sosial untuk menerapkan praksis filsafatnya sendiri, tidak mungkin dapat dikompensasi hanya dengan janji ekonomi global di dalam kemungkinan cerahnya hari depan. Sebagai contoh adalah harga global BBM dan bahan makanan yang mulai dirasakan terlalu tinggi bagi negara-negara maju, bagi bangsa Indonesia sudah dirasakan sebagai suatu cekikan di leher yang mematikan. Bangsa kita ingin bebas dari cekikan maut dan ingin segera berontak untuk menyelamatkan diri. Namun, bagaimanakah bentuk pemberontakan itu? Apakah harus berupa suatu revolusi? Tentu tidak karena bangsa Indonesia sudah paham akan makna revolusi, yang selalu akan berakhir dengan memakan korban anak- anaknya sendiri. Revolusi sosial yang meletus di dalam suatu negara bangsa hanya akan menghancurkan segenap tatanan kehidupan bangsanya sendiri dan memorakporandakan infrastruktur demokrasi.

Jangankan revolusi, disiplin sosial yang rentan saja tidak mungkin dapat mempertahankan eksistensi demokrasi yang telah kita perjuangkan dengan mahal selama 10 tahun terakhir ini. Seperti yang terjadi pada sekitar tahun 1970 dari kampus-kampus seluruh Amerika Serikat hampir setiap bulan turun demonstrasi mahasiswa yang ekstrim, keras, dan radikal. Penggeraknya adalah kelompok muda The Students for a Democratic Society (SDS). Ketika berlangsung demonstrasi di Little Rock yang cenderung anarkis, seorang mahasiswa telah tertembak mati. Sesuai dengan tradisi dalam demokrasi, gubernur negara bagian harus bertanggung jawab dan wajib dengan legawa mengundurkan diri. Namun, etika demokrasi yang anti ekstremitas juga menjatuhkan sanksi sosial sehingga nama SDS yang semula harum sebagai pengusung intelek demokrasi menjadi hancur seketika tanpa bekas di mata rakyatnya.

Ampera
Kalau begitu, lalu apa yang dapat kita lakukan? Ingatlah sebuah pesan yang disampaikan Bung Karno pada Juni 1952: ”Jikalau engkau pada suatu hari merasa bingung akan jalannya revolusi kita, maka kembalilah segera kepada amanat penderitaan rakyat (Ampera)”. Rakyat telah memberi amanat kepada para pemimpin bangsa, untuk melakukan terobosan universal demi menyelamatkan mereka. Oleh karena itu, nation state atau negara bangsa Indonesia wajib segera dibebaskan dari penderitaan akibat baju besi dan sangkar besi yang memenjarakannya. Terobosan tersebut bukan chauvinisme, tetapi suatu wawasan kebangsaan yang segar, yang merupakan revitalisasi nasionalisme Pancasila di era global.

Kebangsaan yang segar adalah wawasan yang berdiri di atas interdependensi atau saling ketergantungan di dalam kehidupan modern antarnegara di dunia, bukannya hanya menggantungkan nasib kepada negara-negara maju. Pancasila menuntut duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi, sebagai syarat hidup antarbangsa. Pancasila menolak istilah toleransi sebagaimana yang ditawarkan dalam sikap globalisasi. Toleransi merupakan bahasa paternalistik dari pihak superior kepada pihak inferior, dari mayoritas terhadap minoritas, atau bahasa pihak negara maju kepada Indonesia dan pihak negara berkembang lain. Salah satu contoh praksis Pancasila dalam konteks mengemban Ampera akibat cekikan maut global adalah suatu renegosiasi kontrak atas konsesi pertambangan minyak asing, dengan tujuan mencapai keadilan praksis dari sistem produksi dan distribusi BBM. Setelah melalui strategi nasionalisasi perusahaan minyak asing, kini harga BBM di dalam negeri Venezuela dapat ditekan sampai hanya 0,1 Bolivar per liter = 0,04 dollar AS = Rp 372 per liter. Di negara itu diterapkan neo-nasionalisme, suatu ide revolusi wawasan, yang ekuivalen dengan kesegaran nilai-nilai kebangsaan di dalam filsafat Pancasila.

AM Hendropriyono Jenderal TNI (Purn), Mantan Ketua Umum Ikatan Alumni Lemhannas.
Tulisan ini telah dipublikasikan di Harian Umum Kompas edisi 2 Juni 2008, halaman 6