Minggu, 26 Juli 2009

Hendropriyono, Sang Doktor Filsafat

Inilah buah manis dari kerja kerasnya selama sekitar 3,5 tahun.

Tepuk tangan bergemuruh memenuhi ruang di lantai lima Gedung Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Sabtu pagi (25/7). Pria yang menjadi pusat perhatian itu tampak tersenyum lebar. Pria itu, mantan kepala Badan Intelijen Negara (BIN), Jenderal TNI (Purn) Abdullah Mahmud Hendropriyono, resmi menyandang predikat doktor ilmu filsafat.

Di depan tim penguji yang terdiri atas Prof Dr R Soejadi, Prof Dr Syamsulhadi, Prof Dr Ahmad Syafii Maarif, Prof Koento Wibisono, dan Prof Mukhtasar Syamsuddin, Hendro berhasil mempertahankan disertasinya yang berjudul Terorisme dalam Kajian Filsafat Analitika: Relevansinya dengan Ketahanan Nasional.

Bahkan, Hendro pun berhasil meraih predikat cumlaude. ''Saat ini, Allah telah memberikan kedudukan yang tertinggi bagi saudara, yaitu lulus dari pendidikan tertinggi dengan gelar cumlaude secara total,'' kata Prof Kaelan, promotornya, dalam pesan singkat usai ujian terbuka.

Dengan wajah berseri, pria kelahiran Yogyakarta, 7 Mei 1945, ini mengaku tidak menduga bakal mendapatkan predikat cumlaude. ''Predikat cumlaude itu tidak pernah saya sangka-sangka. Saya berpikir, bisa lulus saja sudah cukup.''

Untuk Hendro, inilah buah manis dari kerja kerasnya selama sekitar 3,5 tahun. Bermula dari sidang yang dimulai pada pukul 10.00 hari itu, Hendro harus mempertahankan disertasinya selama satu jam lebih. Sepanjang waktu itu, Hendro menjelaskan gamblang segala hal tentang terorisme.

Berawal dari fakta bahwa hingga saat ini belum ada definisi yang jelas tentang apa itu terorisme, Hendro mengaku tergelitik untuk membahas masalah terorisme tersebut dalam dunia akademis melalui pendekatan filsafat analitik atau bahasa.

Menurut dia, bahasa yang digunakan dalam terorisme ternyata terbelah atas dua tata permainan bahasa, yaitu mengancam dan berdoa yang digunakan sekaligus. Tata permainan bahasa yang terbelah dalam terorisme tersebut menunjukkan bahwa para teroris memiliki kepribadian yang terbelah atau split personality. ''Para pelaku terorisme juga mengalami kegalatan kategori, yaitu ketidakmampuan untuk membedakan pengetahuannya sehingga mengakibatkan subjek dan objek terorisme menjadi tak terbatas,'' paparnya.

Maka, dalam disertasinya tersebut, Hendro memberi saran agar filsafat juga memperluas objeknya dalam studi tentang manusia, yaitu terkait dengan manusia yang mengalami kegalatan kategori atau manusia yang mengalami kepribadian yang terbelah. ''Itu layak dilakukan karena subjek terorisme mempunyai kondisi kejiwaan yang memungkinkan berkembangnya fisik, emosi, dan intelektual secara optimal karena mereka adalah orang normal, bukan orang gila,'' tandasnya.

Diakuinya, berdasarkan fakta historis yang bisa direkamnya sejak menjadi kepala BIN, ternyata terorisme itu sama dengan jimat yang dimiliki tokoh pewayangan Indonesia, Raden Narasoma, yaitu Candra Birawa. ''Jadi, ibarat pepatah, patah tumbuh hilang berganti. Itulah terorisme. Begitu pula yang ada di Indonesia, terorisme itu timbul tenggelam karena yang kita atasi hanya kaki-kakinya yang juga terdapat di seluruh dunia. Sementara itu, otaknya tidak ada di negeri ini,'' ujar Hendro.

Soekarno
Sepanjang sidang yang turut dihadiri beberapa tokoh nasional, di antaranya Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Dr Meutia Hatta, mantan ketua DPR RI Dr Akbar Tandjung, Fadel Muhammad, serta Sutiyoso, Hendro tak terlihat tegang. Bahkan, sesekali lulusan Akademi Militer Nasional Magelang tahun 1967 ini menjawab pertanyaan tim penguji dengan gurauan.

Seperti ketika Prof Dr Ahmad Syafii Maarif menanyakan persepsi orang yang mengaitkan terorisme dengan Islam. ''Tolong jawab dengan singkat,'' ujar Syafii.

Hendro menjawab, ''Singkatnya, mereka tidak paham Islam.'' Dan, tepuk tangan pun membahana. Setelah mereda, Hendro pun melanjutkan jawabannya dengan memberi 'versi panjang' dari pertanyaan Syafii.

Hendro pun mengakui, satu hal yang turut memotivasinya meraih gelar doktor di Fakultas Filsafat UGM adalah kenyataan bahwa mantan presiden Soekarno adalah juga doktor filsafat lulusan UGM. ''Bahkan, beliau adalah doktor filsafat pertama lulusan UGM dan sekarang saya adalah doktor ke-51,'' lanjutnya.

Dengan gelar ini, Hendro menjadi doktor ke-1.089 yang diluluskan UGM dan menjadi doktor ke-51 dari Fakultas Filsafat UGM. Kesuksesan Hendro ini pun disambut gembira oleh sang promotor, Prof Kaelan, yang mengenang kegigihan peraih gelar kehormatan Veteran Pembela Republik Indonesia ini. ''Dia pernah dua kali melakukan bimbingan tengah malam,'' ujar Kaelan.

Sedangkan, Hendro mengenang kehangatan civitas akademika UGM. ''Saya merasa beruntung bisa kuliah di UGM karena sikap kekeluargaannya,'' ungkap dia.

Gelar doktor tampaknya menjadi puncak dari catatan panjang pendidikan pria yang juga mahir menembak ini. Hendro tercatat telah mendapatkan gelar sarjana hukum, sarjana ekonomi, sarjana teknik industri, hingga menempuh pendidikan pascasarjana di Filipina.

Akan tetapi, ternyata, mantan presiden Soekarno bukanlah satu-satunya motivasinya. Diam-diam, Hendro menyimpan motivasi lain untuk gelar doktornya ini. ''Saya sengaja mengikuti banyak kuliah bukan untuk memajang banyak gelar di depan dan belakang nama saya, tetapi agar anak-anak saya bosan mengikuti upacara wisuda saya,'' kata Hendro yang turut didampingi sang istri dan ketiga anaknya. (Republika, 26 Juli 2009, yli/ant)

Hendropriyono: Diperlukan UU Intelijen

YOGYAKARTA, KOMPAS - Terorisme terjadi akibat benturan dua filsafat universal dunia, yakni demokrasi yang tidak dilaksanakan secara etis dan fundamentalisme. Selama keduanya belum berubah ke arah yang lebih baik dan menyatu, tindak terorisme akan terus ada.

Hal ini dikemukakan Jenderal TNI (Purn) Dr Ir Drs AM Hendropriyono SH SE MBA MH di depan tim promotor dan penguji Program Pascasarjana Ilmu Filsafat Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Sabtu (25/7). Bertindak sebagai promotor Prof Dr Kaelan MS serta Ko-promotor Prof Dr Lasiyo MA MM dan Prof Dr Djoko Suryo MA.

Mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) itu mempertahankan disertasi tentang ”Terorisme dalam Kajian Filsafat Analitika: Relevansinya dengan Ketahanan Nasional”. Ia dinyatakan lulus dan memperoleh gelar doktor bidang filsafat dengan predikat cum laude.

Menurut Hendropriyono, semua tindak terorisme, termasuk di Indonesia saat ini, adalah implementasi cara berpikir para pelakunya, yang ia sebut memiliki kepribadian rancu dan terbelah (split personality). Terorisme sendiri terjadi akibat ideologi, bukan oleh kepentingan. ”Apa yang bisa menghentikan (terorisme) adalah dengan menghentikan cara berpikir seorang yang berkepribadian terbelah. Kalau itu berhenti, teroris berhenti.”

Yang dimaksud dengan demokrasi tidak etis, menurut Hendropriyono, adalah ulah negara yang meneriakkan demokrasi, tetapi cara yang mereka tempuh tidak pas, yakni menyerang bangsa lain. Sementara di kutub yang lain, kaum fundamentalis memiliki pandangan bahwa demokrasi adalah pikiran orang tolol. Kaum fundamentalis ini tidak mau pikirannya disamakan dengan kaum demokratis.

Bentuk terorisme pun terus berkembang, tidak linear, dan makin mematikan. Jika sebelumnya mereka membunuh dengan senjata api, kini sudah memakai bom. Tidak menutup kemungkinan, ke depan mereka akan memakai perangkat yang lebih canggih, termasuk nuklir. Semua ini sesuai dengan perkembangan zaman yang terus berubah.

Di sinilah, menurut lulusan Akademi Militer tahun 1967 dan Australian Intelligence Course Woodside 1971 ini, pentingnya ideologi Pancasila sebagai benteng untuk mengantisipasi pengaruh kedua filsafat universal yang saling berbenturan tersebut. ”Jadi, relevansi kajian terorisme dan ketahanan nasional adalah bagaimana kita merevitalisasi Pancasila. Selama ini, Pancasila dengan semena-mena ditolak. Penolakan secara terbuka tidak, tetapi kita sudah merasakan adanya penolakan itu,” ujarnya.

UU Intelijen

Kepada wartawan, Hendropriyono mengemukakan pentingnya undang-undang intelijen untuk menjaga masyarakat dari perbuatan teror. Menurut dia, masyarakat tidak perlu takut atau khawatir bahwa UU ini akan disalahgunakan, misalnya melakukan penangkapan secara membabi buta. ”UU intelijen harus mengatur apa yang harus dilakukan dan tidak boleh dilakukan oleh aparat inteligen. Jangan ditakuti soal UU inteligen. Apa pun UU yang melindungi rakyat harus didukung. Jika dikhawatirkan akan disalahgunakan, sebaiknya tulis saja satu pasal di dalamnya untuk mencegah itu,” katanya.

Terus merekrut

Mantan anggota Jemaah Islamiyah, Nasir Abas, yang juga hadir dalam sidang terbuka, menduga Noordin M Top saat ini masih terus melakukan pengaderan dan merekrut anggota- anggota baru.

”Saya kira Noordin tidak pernah berhenti merekrut, sebelum tertangkap. Orang- orang muda baru yang memang memiliki pandangan mendukung Noordin, apalagi isu-isu global masih terus ada,” ujarnya.

Menurut Nasir, modus yang digunakan Noordin dalam setiap melakukan aksi selalu sama, kecuali bom JW Marriott dan Ritz- Carlton pekan lalu yang dilakukan dari dalam hotel. Teknik pengeboman juga masih sama, yaitu menggunakan seseorang untuk melakukan bunuh diri.

Disinggung mengenai pemicu tindak terorisme terbaru, menurut Nasir, dimungkinkan Noordin dan kawan-kawan bermaksud merespons kebijakan terbaru Amerika Serikat. AS di bawah kepemimpinan Barack Obama hendak menarik pasukan dari Irak, tetapi di satu sisi menambah pasukan di Afganistan. Bahkan, AS bermaksud menghabisi Taliban. (Kompas, 26 Juli 2009, WER)