Minggu, 26 Juli 2009

Hendropriyono: Diperlukan UU Intelijen

YOGYAKARTA, KOMPAS - Terorisme terjadi akibat benturan dua filsafat universal dunia, yakni demokrasi yang tidak dilaksanakan secara etis dan fundamentalisme. Selama keduanya belum berubah ke arah yang lebih baik dan menyatu, tindak terorisme akan terus ada.

Hal ini dikemukakan Jenderal TNI (Purn) Dr Ir Drs AM Hendropriyono SH SE MBA MH di depan tim promotor dan penguji Program Pascasarjana Ilmu Filsafat Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Sabtu (25/7). Bertindak sebagai promotor Prof Dr Kaelan MS serta Ko-promotor Prof Dr Lasiyo MA MM dan Prof Dr Djoko Suryo MA.

Mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) itu mempertahankan disertasi tentang ”Terorisme dalam Kajian Filsafat Analitika: Relevansinya dengan Ketahanan Nasional”. Ia dinyatakan lulus dan memperoleh gelar doktor bidang filsafat dengan predikat cum laude.

Menurut Hendropriyono, semua tindak terorisme, termasuk di Indonesia saat ini, adalah implementasi cara berpikir para pelakunya, yang ia sebut memiliki kepribadian rancu dan terbelah (split personality). Terorisme sendiri terjadi akibat ideologi, bukan oleh kepentingan. ”Apa yang bisa menghentikan (terorisme) adalah dengan menghentikan cara berpikir seorang yang berkepribadian terbelah. Kalau itu berhenti, teroris berhenti.”

Yang dimaksud dengan demokrasi tidak etis, menurut Hendropriyono, adalah ulah negara yang meneriakkan demokrasi, tetapi cara yang mereka tempuh tidak pas, yakni menyerang bangsa lain. Sementara di kutub yang lain, kaum fundamentalis memiliki pandangan bahwa demokrasi adalah pikiran orang tolol. Kaum fundamentalis ini tidak mau pikirannya disamakan dengan kaum demokratis.

Bentuk terorisme pun terus berkembang, tidak linear, dan makin mematikan. Jika sebelumnya mereka membunuh dengan senjata api, kini sudah memakai bom. Tidak menutup kemungkinan, ke depan mereka akan memakai perangkat yang lebih canggih, termasuk nuklir. Semua ini sesuai dengan perkembangan zaman yang terus berubah.

Di sinilah, menurut lulusan Akademi Militer tahun 1967 dan Australian Intelligence Course Woodside 1971 ini, pentingnya ideologi Pancasila sebagai benteng untuk mengantisipasi pengaruh kedua filsafat universal yang saling berbenturan tersebut. ”Jadi, relevansi kajian terorisme dan ketahanan nasional adalah bagaimana kita merevitalisasi Pancasila. Selama ini, Pancasila dengan semena-mena ditolak. Penolakan secara terbuka tidak, tetapi kita sudah merasakan adanya penolakan itu,” ujarnya.

UU Intelijen

Kepada wartawan, Hendropriyono mengemukakan pentingnya undang-undang intelijen untuk menjaga masyarakat dari perbuatan teror. Menurut dia, masyarakat tidak perlu takut atau khawatir bahwa UU ini akan disalahgunakan, misalnya melakukan penangkapan secara membabi buta. ”UU intelijen harus mengatur apa yang harus dilakukan dan tidak boleh dilakukan oleh aparat inteligen. Jangan ditakuti soal UU inteligen. Apa pun UU yang melindungi rakyat harus didukung. Jika dikhawatirkan akan disalahgunakan, sebaiknya tulis saja satu pasal di dalamnya untuk mencegah itu,” katanya.

Terus merekrut

Mantan anggota Jemaah Islamiyah, Nasir Abas, yang juga hadir dalam sidang terbuka, menduga Noordin M Top saat ini masih terus melakukan pengaderan dan merekrut anggota- anggota baru.

”Saya kira Noordin tidak pernah berhenti merekrut, sebelum tertangkap. Orang- orang muda baru yang memang memiliki pandangan mendukung Noordin, apalagi isu-isu global masih terus ada,” ujarnya.

Menurut Nasir, modus yang digunakan Noordin dalam setiap melakukan aksi selalu sama, kecuali bom JW Marriott dan Ritz- Carlton pekan lalu yang dilakukan dari dalam hotel. Teknik pengeboman juga masih sama, yaitu menggunakan seseorang untuk melakukan bunuh diri.

Disinggung mengenai pemicu tindak terorisme terbaru, menurut Nasir, dimungkinkan Noordin dan kawan-kawan bermaksud merespons kebijakan terbaru Amerika Serikat. AS di bawah kepemimpinan Barack Obama hendak menarik pasukan dari Irak, tetapi di satu sisi menambah pasukan di Afganistan. Bahkan, AS bermaksud menghabisi Taliban. (Kompas, 26 Juli 2009, WER)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar