Rabu, 12 Agustus 2009

Terorisme Global, Sasaran Lokal

Prestasi demi prestasi telah ditorehkan kepolisian Indonesia. Dalam sejarah kampanye nasional antiterorisme global, sejak tahun 2004, Satuan Tugas Bom dan Detasemen Khusus 88 Antiteror melancarkan berbagai jenis operasi nasional secara terpadu.

Kegemilangan hasil operasi terpadu antara kegiatan ”Intelijen Penyelidikan” dan kegiatan ”Pengusutan Kepolisian” oleh jajaran Polri layak diberi apresiasi nyata. Para polisi yang telah berjasa melebihi panggilan tugasnya ini pantas mendapat bintang dan kenaikan pangkat luar biasa.

Satgas Bom Polri melancarkan operasi antiteror dengan metode reverse operation (operasi balik), yaitu menggunakan para mantan teroris yang telah sadar dan dapat dipercaya untuk mengejar dan menarik teman-temannya mengikuti langkah mereka, kembali ke ”alam nyata”. Hasilnya sudah jelas, organisasi al-Jama’ah al-Islamiyah (JI) kemudian luluh lantak terdisorganisasi.

Kurang dukungan

Sayang, atas usaha gemilang ini, pemerintahan negara (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) Indonesia tidak menempatkan dukungan dana operasi ke dalam sistem APBN. Akibatnya, derivasi metode operasi balik yang berupa kegiatan ”Intelijen Penggalangan” atau ”reedukasi” sesuai konsep ”deradikalisasi” telah menyisakan Air Setyawan (mantan narapidana terorisme) kembali melakukan teror, sampai ditembak dalam penyerbuan polisi di Jatiasih, Bekasi, Jumat (7/8) dini hari.

Keberhasilan (lagi) Densus 88 Polri kali ini adalah mengungkap dua pengebom bunuh diri di Hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton. pertengahan Juli lalu. Polisi juga berhasil menangkap beberapa oknum lapangan yang terlibat pengeboman dan menewaskan tiga orang serta melukai sejumlah orang. Namun, yang paling penting adalah polisi juga berhasil menyita bahan peledak yang akan digunakan oleh para teroris untuk beraksi dua pekan mendatang.

Andai melibatkan TPRAG

Namun, penyergapan (raid) terhadap orang yang semula diduga Noordin M Top di Dusun Beji, Kecamatan Kedu, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, telah berlangsung cukup lama, selama 17 jam, sejak Jumat (7/8) sore. Hal ini patut dimaklumi karena operasi itu lebih bersifat operasi fisik militer, yang berbeda dengan operasi intelijen dan kepolisian.

Jika saja keterpaduan operasi polisi itu juga memasukkan TPRAG (Taktik Pertempuran Regu Anti Gerilya) ke dalamnya, operasi antiteror yang dilakukan polisi itu dapat berlangsung lebih sempurna.

Pekerjaan rumah intelijen kini memang terbentang karena para teroris global telah mengarahkan obyeknya ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Berarti sama seperti yang dilakukan oleh Al Qaeda sebanyak dua kali pada tahun 2003 terhadap iringan kendaraan Pervez Musharraf.

Alasan mereka melakukan serangan (meski gagal), karena Presiden Pakistan dulu mendapat dukungan Pemerintah Amerika Serikat dalam memerangi Taliban. Selain itu, Presiden Musharraf juga merupakan figur yang dibenci partai-partai Islam fundamental di dalam negerinya.

Mengapa SBY?

Sedangkan SBY bukanlah ”antek” Amerika Serikat dan tidak dibenci partai-partai Islam mana pun. Menurut Amir Abdillah alias Ahmad Fery (pemesan kamar 1808 Hotel JW Marriott), serangan yang direncanakan itu bertujuan memberi pelajaran atas eksekusi mati terhadap Amrozi, Mukhlas, dan Imam Samudra. Selain itu, SBY juga dianggap memimpin negara sekuler ala Barat.

Dengan demikian, terorisme global Al Qaeda kini mulai mengikuti agenda Noordin M Top yang berkelas lokal. Ruang lingkup sasaran (obyek) terorisme yang tidak konsisten ini otomatis akan menambah rumit pekerjaan intelijen dan kepolisian dalam menganalisis subyek dan metode operasi Al Qaeda di Indonesia.

*) AM Hendropriyono Jenderal (Purn) TNI; Mantan Kepala Badan Intelijen Negara, Kompas 11 Agustus 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar